Hari Ibu, Jangan hanya Ceremonial

Ayatullah Khomaeni pernah berwasiat, satu malam yang dijalani seorang ibu dalam mengurusi anaknya, BERNILAI LEBIH BESAR dari pada bertahun-tahun kehidupan seorang ayah yang setia.

Betapa besar jasa seorang ibu di mata Allah, Rosul, Ulama. Dan, saya yakin semua orang pun juga setuju untuk mengacungkan jempol atas jasa-jasa dan kasih sayang ibu kepada anaknya.

Dalam bukunya While You’re Expecting Your Own Prenatal Classroom, F.Rene Van de Carr, M.D. dan Marc Lehler, Ph.D, mengungkapkan hasil penelitiannya yang menyimpulkan bahwa janin memiliki kemampuan untuk mempelajari bahasa. Setidaknya ada 26 kata yang dapat dipelajari janin.

Proses pendidikan oleh ibu ini terus berlanjut ketika bayi tersebut lahir. Yaitu melalui proses menyusui. Melaui proses ini pula seorang anak telah diajarkan kasih sayang, di saat sang anak berada dalam dekapannya. Itu sebabnya, hanya kaum wanita lah yang memiliki rahim (kasih). Ini terlepas dari kasih sayang yang juga dimiliki oleh seorang ayah.

Secara eksplisit, peranan ibu di dalam dan di luar rumah sangatlah besar. Karena, citizen (orang banyak) dilahirkan oleh para mother society (masyarakat ibu-ibu). Bahkan, dalam suatu hadits ditegaskan, “Jika ibu-ibu dalam suatu negara baik, maka negara tersebut akan baik pula. Begitu pun sebaliknya.”

Akhirnya gerakan nasionalisme pun berkobar di kalangan organisasi perempuan, pada tanggal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres ini melahirkan semacam federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun 1929, diganti menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), pendidikan dan perlindungan anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa.

Dari asumsi di atas, untuk merefleksikan dan membalas jasa yang terus ditoreh sang ibu, tercetuslah Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember. Pada saat yang sama, segenap instansi terutama yang bergerak di bidang studi wanita gencar melakukan kegiatan-kegiatan sosial dalam mengisi dan memperingati Hari Ibu.

Sayangnya, peringatan dan warna-warni Hari Ibu di tanah air hanya sebatas ceremonial belaka. Faktanya, elitisasi perempuan sangat nyata terjadi di masyarakat. Keberadaan pusat studi wanita masih sedikit yang menyentuh grass root. Semangat mereka terlihat sekedar di seminar-seminar atau loka karya, namun beragam alasan terlontar ketika ingin terjun ke lapangan, wa bil khusus saat ingin merambah ibu-ibu masyarakat bawah. Terbesit satu pertanyaan, masih layakkah Hari Ibu dirayakan? Mungkin ini bukan pertanyaan yang harus dijawab, namun suatu kepiluan atas realitas yang terjadi.

Substansi diperingatinya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, selayaknya
diberikan penghormatan dan penghargaan terhadap keberadaan seorang perempuan.
Penghormatan ini seharusnya diimplementasikan dalam bentuk penghargaan nyata
terhadap berbagai potensi perempuan sebagai ibu. Baik di rumah tangga, dalam
masyarakat maupun dalam sistim kenegaraan. Realisasi tersebut jangan pula hanya diimplementasikan dalam satu hari saja (ketika peringatan Hari Ibu). Bukankah kasih ibu sepanjang masa?

Perempuan bukan Objek Materialisme

Sejak dulu, banyak sekali perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri. Antara lain, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryochondro: 1995).

Secara umum, tujuan organisasi tersebut adalah sosial dan kultural, memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang menyebutkan organisasi tersebut terintervensi kegiatan politik dan tersentuh kepentingan materiil.

Namun, individu atau organisasi wanita saat ini banyak yang melenceng jauh dari pendahulunya. Visi dan misi yang dibawa, terombang-ambing oleh arus kapitalisme, liberalisme, hedonisme atau isme-isme lain yang menuhankan materi.

Ironisnya, secara sadar atau tidak, wanita-wanita muda generasi ibu rela dijadikan sebagai objek materialisme. Misalnya beragam kasus pornografi yang makin marak di tanah air. Bahkan, tidak sedikit diantara mereka justru telah menjadikan profesinya sebagai sesuatu yang mendasar dengan dalih beragam, termasuk kebebasan yang nyeleneh.

Triple F (Food, Fashion and Fun) serta kwartet S (Song, Sex, Sport, dan Sinema) yang ditularkan budaya Barat, kini menjadi tauladan mereka yang mengkultuskan kultur permisif dan hedonistik di segala aspek kehidupannya. Beragam acara di media massa (terutama televisi) pun, seakan ‘latah’ dengan menyajikan hiburan yang bernuansa hedonis dan jelas terlihat perempuan sebagai bahan eksploitasi. Padahal, nantinya mereka akan menjadi seorang ibu sekaligus pendidik anak dan umat di masa depan

Bukankah ibu dan calon ibu-ibu yang lain adalah sebuah aset negara yang harus diselamatkan. Keberadaannya di depan Allah sangat lah mulia. Al qur’an telah menegaskan, kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam seluruh aspek persoalan. Begitupun dengan penilaian yang sama di depan Allah dalam hal ibadah, asalkan dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketakwaan.

Dapat ditarik benang merah, tidak ada pelarangan bagi kaum wanita yang ingin berkarir. Namun, harus berkiblat pada nilai mulia Al qur’an dan Sunnah Rasul SAW, dan mulai saat ini, katakan Tidak untuk dijadikan sebuah objek materialisme. Dengan demikian, kiprah ibu serta calon ibu-ibu di luar dan di dalam rumah, ibarat harga manis yang ditunggu seluruh komponen bangsa ini. Semoga…

Kicho Yochi Trainning

Judul tulisan ini adalah bahasa Jepang yang berarti “Antisipasi terhadap hal-hal tak terduga -yang tidak kita inginkan-”. Kalimat tersebut tidak asing lagi bagi karyawan di perusahaan Astra, baik di Jepang maupun di Indonesia.

Manajemen produksi maupun operasional di perusahaan Astra, secara kontinue menerapkan sistem tersebut. Manfaatnya dapat menekan cost produksi, meminimalisir angka kecelakaan kerja (zero accident), hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan bonafid di Indonesia.

Bahkan, sistem ini dapat kita praktekkan pada tataran kehidupan individu sehari-hari. Alangkah indahnya, bila sistem tersebut dapat pula diaplikasikan pada seluruh perusahaan di negeri ini. Pun pada dunia pertelevisian yang kini marak menjadi sorotan media massa.

Diloloskannya siaran “smack down” oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), menjadi satu bukti bahwa dunia pertelevisian kita kurang mampu memprediksikan akibat buruk atas tayangan yang disiarkan. Buktinya, tayangan smack down telah ‘berhasil’ merenggut korban jiwa pada anak-anak.

Masih segar dalam ingatan kita, Maryunani, siswa kelas III SD, Kulonprogo, Jogjakarta menjadi salah satu korban smack down hingga harus mendapat perawatan rumah sakit. Meski himbauan dari pihak televisi telah dilakukan, masih saja terdapat siswa lain di Bandung, yang meninggal dunia karena kasus serupa.

Anak-anak tentu sulit memahami sebuah imbauan bahwa acara itu tidak boleh ditonton mereka. Dunia anak, tahunya hanya; menyaksikan apa yang tersaji di depan mata. Bila tertarik,mereka pun menggelitik untuk mencobanya (Jati Diri, JP 29/11/06).

Namun, ironis sekali pihak industri televisi yang bersangkutan seakan tidak mempedulikan efek buruk tayangan yang disiarkannya. Acara tersebut tetap disiarkan dan tidak ditinjau ulang apakah layak tayang atau tidak, yang penting bagi mereka profit oriented menjadi tujuan utama. Padahal, fungsi media massa adalah memberikan informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial bagi khalayaknya.

Tidak Belajar

Menurut salah satu anggota KPI, kalau belum menimbulkan korban, acara televisi masih dapat diperdebatkan karena interpretasi terhadap kekerasan, pornografi dan lain sebagainya sangat multitafsir (Kompas, 29/11/2006).

Penulis sungguh menyesalkan pernyataan tersebut. Analoginya, selama ini pihak KPI baru akan bertindak jika korban-korban tayangan media massa sudah bermunculan. Timbul pertanyaan, berapa jumlah korban yang ditargetkan? sementara pihak terkait masih larut dalam menyelesaikan perdebatan tentang layak tidaknya penayangan sebuah acara.

Konsep tersebut sangat berlawanan dengan Kicho Yochi Trainning (KYT). Dengan sistem KYT mampu memprediksi hal-hal buruk yang akan terjadi tanpa harus menunggu jatuhnya korban atau kerugian bagi semua pihak. Jika memang mekanisme pencabutan siaran televisi harus menunggu korban jatuh, lantas siapa lagi yang akan dikorbankan?

Semua pihak sebenarnya mampu mempertimbangkan dan menghitung antara manfaat dan mudharat, sebelum mengambil keputusan. Pada saat yang sama, kemampuan untuk mengantisipasi kerugian materil dan immateril pun telah dimiliki. Namun, mengapa kerugian dan kebodohan masih terus terjadi?

Dikatakan rugi karena dampak buruk tayangan World Wresting Entertaintment -seperti smack down, after burn, raw, bottomline, heat, experience,extreme championship, atau sejenisnya- telah menyebabkan adanya korban. Sedangkan kebodohan itu nampak saat banyaknya reaksi keras yang datang terhadap tayangan kekerasan tersebut pasca terjadinya korban.

Mulai dari KPI, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan hingga Menkominfo. Bahkan Wapres menyatakan menolak tayangan kekerasan seperti smack down (Kompas, 30/11/06). Sayangnya, kita semua tahu bahwa program smack down tidak sedikit pun mendatangkan sisi positif. Namun mengapa reaksi-reaksi keras, penegasan penolakan dan pencekalannya baru ramai saat korban-korban telah jatuh.

Mungkin patologi bahwa republik ini “baru bertindak setelah terjadi akibat”, memang telah mengkultur dan menyebar ke segala ranah kehidupan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, mata, hati dan telinga mereka sengaja ditutup dan mengkambinghitamkan kecerobohan. Seraya berkata, “Kami mohon maaf dan turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kejadian tersebut.”

Belum Terlambat

Korban kekerasan akibat tayangan televisi ini tidak boleh dianggap sepele. Sudah saatnya para pemilik modal lembaga penyiaran memikirkan nasib bangsa ini dengan mengedepankan etika pers. Dimana sumber etika pers adalah moral.

Melihat era liberalisasi industri pers sekarang, sangat berpotensi memunculkan hambatan bagi berkembangnya pers yang mampu menyuarakan diversitas kepentingan publik. Kaidah alami yang berlaku bagi mekanisme pasar, rasionalitas maksimalisasi produksi dan akumulasi modal, amat berpotensi memunculkan konglomerasi, konsentrasi pasar, pemusatan kepemilikan media di tangan sejumlah kecil pemain.

Salah satu kemungkinan negatif dari ini semua, menurut Dedi, akan memunculkan hegemoni isi media. Dimana media hanya menyajikan isi dari satu sisi kepentingan, persfektif, dan ideologi (Dedi, dalam Alex Sobur, 2001).

Jika konglomerasi demi sebuah keuntungan sepihak telah mengalahkan moral, kita tinggal menunggu bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Sebagai implikasinya, arah dan masa depan generasi bangsa akan hancur berkeping-keping. Apakah Anda masih tega?