Kicho Yochi Trainning

Judul tulisan ini adalah bahasa Jepang yang berarti “Antisipasi terhadap hal-hal tak terduga -yang tidak kita inginkan-”. Kalimat tersebut tidak asing lagi bagi karyawan di perusahaan Astra, baik di Jepang maupun di Indonesia.

Manajemen produksi maupun operasional di perusahaan Astra, secara kontinue menerapkan sistem tersebut. Manfaatnya dapat menekan cost produksi, meminimalisir angka kecelakaan kerja (zero accident), hingga berhasil menjadi salah satu perusahaan bonafid di Indonesia.

Bahkan, sistem ini dapat kita praktekkan pada tataran kehidupan individu sehari-hari. Alangkah indahnya, bila sistem tersebut dapat pula diaplikasikan pada seluruh perusahaan di negeri ini. Pun pada dunia pertelevisian yang kini marak menjadi sorotan media massa.

Diloloskannya siaran “smack down” oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), menjadi satu bukti bahwa dunia pertelevisian kita kurang mampu memprediksikan akibat buruk atas tayangan yang disiarkan. Buktinya, tayangan smack down telah ‘berhasil’ merenggut korban jiwa pada anak-anak.

Masih segar dalam ingatan kita, Maryunani, siswa kelas III SD, Kulonprogo, Jogjakarta menjadi salah satu korban smack down hingga harus mendapat perawatan rumah sakit. Meski himbauan dari pihak televisi telah dilakukan, masih saja terdapat siswa lain di Bandung, yang meninggal dunia karena kasus serupa.

Anak-anak tentu sulit memahami sebuah imbauan bahwa acara itu tidak boleh ditonton mereka. Dunia anak, tahunya hanya; menyaksikan apa yang tersaji di depan mata. Bila tertarik,mereka pun menggelitik untuk mencobanya (Jati Diri, JP 29/11/06).

Namun, ironis sekali pihak industri televisi yang bersangkutan seakan tidak mempedulikan efek buruk tayangan yang disiarkannya. Acara tersebut tetap disiarkan dan tidak ditinjau ulang apakah layak tayang atau tidak, yang penting bagi mereka profit oriented menjadi tujuan utama. Padahal, fungsi media massa adalah memberikan informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial bagi khalayaknya.

Tidak Belajar

Menurut salah satu anggota KPI, kalau belum menimbulkan korban, acara televisi masih dapat diperdebatkan karena interpretasi terhadap kekerasan, pornografi dan lain sebagainya sangat multitafsir (Kompas, 29/11/2006).

Penulis sungguh menyesalkan pernyataan tersebut. Analoginya, selama ini pihak KPI baru akan bertindak jika korban-korban tayangan media massa sudah bermunculan. Timbul pertanyaan, berapa jumlah korban yang ditargetkan? sementara pihak terkait masih larut dalam menyelesaikan perdebatan tentang layak tidaknya penayangan sebuah acara.

Konsep tersebut sangat berlawanan dengan Kicho Yochi Trainning (KYT). Dengan sistem KYT mampu memprediksi hal-hal buruk yang akan terjadi tanpa harus menunggu jatuhnya korban atau kerugian bagi semua pihak. Jika memang mekanisme pencabutan siaran televisi harus menunggu korban jatuh, lantas siapa lagi yang akan dikorbankan?

Semua pihak sebenarnya mampu mempertimbangkan dan menghitung antara manfaat dan mudharat, sebelum mengambil keputusan. Pada saat yang sama, kemampuan untuk mengantisipasi kerugian materil dan immateril pun telah dimiliki. Namun, mengapa kerugian dan kebodohan masih terus terjadi?

Dikatakan rugi karena dampak buruk tayangan World Wresting Entertaintment -seperti smack down, after burn, raw, bottomline, heat, experience,extreme championship, atau sejenisnya- telah menyebabkan adanya korban. Sedangkan kebodohan itu nampak saat banyaknya reaksi keras yang datang terhadap tayangan kekerasan tersebut pasca terjadinya korban.

Mulai dari KPI, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan hingga Menkominfo. Bahkan Wapres menyatakan menolak tayangan kekerasan seperti smack down (Kompas, 30/11/06). Sayangnya, kita semua tahu bahwa program smack down tidak sedikit pun mendatangkan sisi positif. Namun mengapa reaksi-reaksi keras, penegasan penolakan dan pencekalannya baru ramai saat korban-korban telah jatuh.

Mungkin patologi bahwa republik ini “baru bertindak setelah terjadi akibat”, memang telah mengkultur dan menyebar ke segala ranah kehidupan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, mata, hati dan telinga mereka sengaja ditutup dan mengkambinghitamkan kecerobohan. Seraya berkata, “Kami mohon maaf dan turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kejadian tersebut.”

Belum Terlambat

Korban kekerasan akibat tayangan televisi ini tidak boleh dianggap sepele. Sudah saatnya para pemilik modal lembaga penyiaran memikirkan nasib bangsa ini dengan mengedepankan etika pers. Dimana sumber etika pers adalah moral.

Melihat era liberalisasi industri pers sekarang, sangat berpotensi memunculkan hambatan bagi berkembangnya pers yang mampu menyuarakan diversitas kepentingan publik. Kaidah alami yang berlaku bagi mekanisme pasar, rasionalitas maksimalisasi produksi dan akumulasi modal, amat berpotensi memunculkan konglomerasi, konsentrasi pasar, pemusatan kepemilikan media di tangan sejumlah kecil pemain.

Salah satu kemungkinan negatif dari ini semua, menurut Dedi, akan memunculkan hegemoni isi media. Dimana media hanya menyajikan isi dari satu sisi kepentingan, persfektif, dan ideologi (Dedi, dalam Alex Sobur, 2001).

Jika konglomerasi demi sebuah keuntungan sepihak telah mengalahkan moral, kita tinggal menunggu bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Sebagai implikasinya, arah dan masa depan generasi bangsa akan hancur berkeping-keping. Apakah Anda masih tega?

Tidak ada komentar: